Pertama
– tama sebelum kita membahas tentang pentingnya solidaritas, mari kita telaah
lebih lanjut, apa yang dinamakan Solidaritas tersebut. Langsung saja mengenai
pengertian dari Solidaritas itu sendiri adalah rasa kebersamaan, rasa kesatuan
kepentingan, rasa simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama atau
bisa di artikan persaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh
kepentingan bersama. Solidaritas juga dapat diartikan sebagai berikut adalah
solidaritas memiliki arti integrasi, tingkat dan jenis integrasi, ditunjukan
oleh masyarakat atau kelompok dengan orang dan tetangga mereka. Hal ini mengacu
pada hubungan dalam masyarakat, hubungan sosial bahwa orang-orang mengikat satu
sama lain. Istilah ini umumnya digunakan dalam sosiologi dan ilmu-ilmu sosial
lainnya.
Dewasa
ini, rasa solidaritas antar sesama manusia sudah mulai memudar khususnya pada
masyarakat Perkotaan ( Patembayan ).
Pada masyarakat Perkotaan, sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa rasa
solidaritas tersebut sudah mulai memudar, dikarenakan sifat masyarakatnya yang
dominan akan keindividuannya, sifat acuh tak acuh, dan lebih mementingkan diri
sendiri dibandingkan dengan rasa kebersamannya terhadapa masyarakat.
Berbeda
dengan masyarakat Desa, mereka melakukan kegiatan sosial masih memegang teguh
rasa solidaritas yang sangat tinggi dan gotong royong. Sebagai contoh, apabila
ada kematian, kelahiran dan orang sakit, tetangga-tetangga di desa akan sangat
antusias mendatangi yang bersangkutan tersebut sebagai rasa solidaritasnya,
atau adanya iuran duka dan bencana apabila ada warga yang mengalami kejadian
menyedihkan, maka secara otomatis dengan dikoordinasi oleh masing-masing ketua
RT ( Rukun Tetangga ) mereka akan memberi sumbangan seikhlasnya, serta adanya
ikut campur masyarakat desa apabila ada warganya yang akan membangun rumah,
begitupun dengan pembangunan suatu instansi sebagai fasilitas di desa dari
pemerintah maupun dalam pembersihan lingkungan
Oleh
karena itu, sangat penting untuk membangun rasa solidaritas tersebut agar bisa
terwujud kembali. Disini ada beberapa cara membangun rasa solidaritas kepada
sesama manusia, diantaranya ialah :
1. Menumbuhkan
Empati kepada orang lain
Empati
itu sendiri ialah, ketika kita mengerti secara keseluruhan tentang orang lain
sesuai dengan apa yang dirasakan orang tersebut. Empati inilah yang juga harus
ditingkatkan. Ketika kita mengerti seutuhnya perasaan orang lain dan mampu
menempatkan diri menjadi orang tersebut, maka tindakan yang kita lakukan tentu
sesuai dengan yang dibutuhkan orang lain.
2. Silaturahmi
( Komunikasi ) dengan sesama
Hal
ini sederhana, namun sangatlah penting. Kita pasti sering mendengar dengan kata
“ Tak Kenal Maka Tak Sayang “. Nah, dalam level ini, kita bukan hanya menjaga
kata “ Kenal “ tetapi menjaga komunikasi dan silaturahmi yang intensif dengan
orang lain.
3. Saling
Sapa
Ini
merupakan hal yang paling sederhana lagi, namun sudah mulai terkikis di masa
kini. Padahal saling sapa satu sama lain dapat membangun ikatan yang kuat
antara satu orang dengan orang lainnya. Walaupun hal ini kelihatan sedikit
remeh, akan tetapi ini merupakan salah satu kabel penyambung antara seseorang
dengan yang lain.
4. Saling
Memberi dan Tolong Menolong dengan Sesama
Dibanding
tiga hal sebelumnya, hal ini adalah hal yang paling sulit untuk diterapkan.
Namun, ketika ketiga hal tersebut berhasil kamu terapkan, poin keempat ini akan
otomatis dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan empati dan silaturahmi
yang baik, maka dengan sendirinya kita akan merasa perlu untuk saling tolong
menolong dengan orang lain.
Itu
tadi sedikit beberapa hal sederhana yang dapat membangun solidaritas. Memiliki
solidaritas adalah hal yang sangat indah, mengingat Manusia adalah makhluk
sosial, yang berarti dia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan bantuan dari
orang lain. Manusia di dunia ini tidak ada yang hidup dalam kesendirian,
manusia akan hidup dalam kelompok – kelompok kecil dalam masyarakat atau
lingkungannya.
Rasa
solidaritas akan muncul dengan sendirinya ketika manusia satu dengan lainnya
memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Maka dari itu, rasa Solidaritas sangat
penting untuk dibangun oleh individu dengan individu lainnya atau kelompok
tertentu dengan kelompok yang lain. Karena dengan adanya solidaritas, kita
dapat bersatu dalam hal mewujudkan sesuatu secara bersama-sama.
Contoh, Nilai Gotong
Royong Dalam Kehidupan Petani Jawa Timur
Istilah
Gotong Royong yang kita kenal sebagai budaya bangsa Indonesia tidak terdapat
dalam kesustraan jawa kuno, jawa madya, maupun kesustraan Jawa baru. Walaupun
tidak adanya istilah dalam kesustraan tentu belum berarti bahwa dalam kenyataan
sehari-hari antara rakyat di desa istilah itu juga tidak ada. Dalam masyarakat
jawa istilah gotong royong pertama kali tampak dalam bentuk tulisan dalam
karangan-karangan tentang aspek sosial dari pertanian terutama di Jawa Timur.
Gotong
royong menjadi value bagi masyarakat Indonesia karena mengedepankan rasa
kebersamaan. Dalam masyarakat jawa muncul pepatah, “naliko rekoso nanging
dipikul bareng-bareng”. Pepatah demikian, bukan hanya menjadi suatu simbol yang
hanya menjadi identitas belakang tetapi dalam masyarakat jawa pepatah tersebut
mempunyai arti yang cukup luas dalam tatanan kehidupan masyarakat. Sebagai
makhluk sosial kita hendaknya memiliki rasa Empati terhadap makhluk sosial yang
lain. Kondisi ini juga didasarkan atas hakikat manusia tidak bisa hidup
sendiri. Jadi setiap individu membutuhkan individu yang lain dalam memenuhi
kebutuhan.
Pada
masa penjajahan Jepang, masyarakat Indonesia sudah mengenal aktivitas
pengerahan tenaga kerja yang kita kenal dengan istilah Gotong Royong. Akan
tetapi pada zamannya istilah gotong royong yang kita kenal tersebut lebih
popular dengan sebutan “kerja bakti” karena masyarakat kita melakukan tindakan
pengerahan tenaga tanpa bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk umum
atau yang berguna bagi kaum pemerintah. Jadi sistem kerja bakti sudah kita
kenal sejak zaman penjajahan, dimana rakyat desa dapat dikerahkan untuk bekerja
tanpa bayaran dalam proyek-proyek pembangunan dari penguasa dan untuk
kepentingan kolonial. Setelah zaman kemerdekaan istilah kerja bakti lebih
popular dengan sebutan gotong royong, sistem ini umumnya digunakan dalam proses
pembangunan.
Dewasa
ini, ketika uang menjadi unsur penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat jawa,
gotong royong dalam (Bercocok Tanam) masyarakat petani desa di Jawa mulai
ditinggalkan. Masyarakat menganggap sistem ini sudah mulai dianggap kurang
praktis. Tentunya kondisi demikian ini menciptakan rasa kebersamaan menjadi
memudar, dan kepentingan-kepentingan setiap individu dalam kelompok masyarakat
juga mulai berbeda serta menimbulkan benih-benih kapitalisme.
Dahulu
ketika “Gotong Royong” dijadikan sebagai kekuatan, kehidupan masyarakat pada umumnya
harmonis karena kapitalisme belum berkembang sehingga tanpa sadar tindakan yang
dilakukan individu dalam kelompok masyarakat dipengaruhi oleh fakta sosial yang
terdapat di lingkungan sosialnya. Masyarakat desa hidup dan memenuhi kebutuhan
berorientasi atas dasar “kebersamaan” atas dasar “kesamaan”. Kondisi ini sesuai
dengan analisis Emile Durkheim
mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber struktur
sosialnya.
Kebersamaan
atas dasar kesamaan atau dapat kita katakan dengan solidaritas mekanik
merupakan analisis Emile Durkheim mengenai
masyarakat yang didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam
kepercayaan. Homogenitas serupa juga didasarkan atas pembagian kerja yang
sangat minim. Sehingga dari analisis Emile
Durkheim tersebut kita dapat mengatakan bahwa kehidupan masyarakat petani
di desa di Jawa merupakan contoh solidaritas mekanik karena tingkat keberagaman
kerja yang sangat minim sehingga dapat kita katakan bahwa kebersamaan
masyarakat petani tersebut atas dasar kesamaan. Dari pernyatan tersebut, ketika
uang sudah mendominasi kehidupan masyarakat petani desa di Jawa tingkat
ketergantungan atas dasar gotong royong menjadi rendah.
Contohnya,
di daerah pedesaan di desa Kademangan, Kota Blitar, Jawa Timur, banyak petani
mulai meninggalkan adat gotong royong dalam produksi pertanian, dan menganggap
lebih praktis untuk menyewa saja buruh tani yang diberi upah berupa uang. Dari
kondisi diatas tersebut, memberi suatu gambaran bahwa solidaritas mekanik yang
dibangun masyarakat semakin terkikis ketika ekonomi uang masuk dalam masyarakat
desa. Kondisi ini juga menciptakan suatu iklim yang buruk dimana ketika ekonomi
uang masuk di desa tentunya semua aktivitas yang berhubungan dengan pertanian,
terutama atas upah jasa dari kegiatan penggerakan tenaga kerja yang sebelumnya
didasarkan atas nilai Gotong Royong menjadi uang. Disamping menggeser nilai
gotong royong menjadi nilai uang, akibat yang ditimbulkan adalah terkikisnya
tradisi masyarkat yang selama ini mereka lakukan setelah melakukan aktivitas
bercocok tanam. “Dulu, sebelum uang masuk di dalam ekonomi masyarakat desa,
setelah melakukan aktivitas bercocok tanam (gotong royong), petani tuan rumah
harus menyediakan makan siang tiap hari kepada teman-temannya yang datang
membantu itu, selama pekerjaannya berlangsung. Kompensasi lain tidak ada,
tetapi yang meminta bantuan tadi harus mengembalikan jasa dengan membantu semua
petani yang di undangnya setiap saat apabila mereka memerlukan bantuan. Tradisi
dalam masyarakat Jawa, di desa Kademangan, Blitar ini yang sebelumnya sangat
urgen dalam membangun kekerabatan kemudian mulai ditinggalkan setelah ekonomi
uang masuk di desa. Kondisi demikian mampu menciptakan kebudayaan baru yakni
pola-pola kehidupan masyarakat mulai berbeda. Nilai gotong royong yang
sebelumnya sangat dijaga oleh sekelompok masyarakat petani di desa kademangan,
Blitar bahkan bisa dibilang nilai tersebut merupakan suatu kebutuhan dasar
dalam kehidupan masyarakat desa petani di desa Kademangan, Blitar karena nilai
gotong royong mengedepankan “kebersamaan atas dasar kesamaan” dan atau menjamin
istilah Emile Durkheim “Solidaritas
Mekanik” mulai tercoret dengan sistem ekonomi uang. Hutang jasa yang kita kenal
sangat erat dalam kehidupan petani desa karena berkaitan dengan pengerahan
tenaga kerja dari luar keluarga untuk membantu menyelesaikan berbagai kegiatan
dalam bercocok tanam kini hampir tidak kita jumpai lagi, karena hutang jasa
yang selama ini diterapkan digantikan dengan hutang uang.
Ketika
melihat karakterisitik fakta sosial, sebenarnya individu dalam kelompok
masyarakat dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong atau dengan cara tertentu
dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.
“
Tipe perilaku atau cara berpikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya
mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu sendir “. ( Emile Durkheim )
Dari
pernyataan tersebut kita dapat melihat permasalahan yang dialami Petani desa di
Kademangan, Blitar, Jawa Timur, dengan menggunakan analisis Emile Durkheim terkait salah satu
karakteristik fakta sosial. Dalam kehidupan petani masyarakat desa Kademangan,
Blitar, kita dapat memperoleh gambaran bahwa berbagai kegiatan maupun tradisi
yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan petani dalam arti (Bercocok Tanam)
kondisi ini dibentuk oleh suatu fakta sosial yang lingkungan sosialnya, mau
tidak mau dan atau sadar tidak sadar individu tersebut diarahkan oleh fakta
sosial dalam segala aktivitas untuk bertindak sesuai fakta sosial yang berlaku.
Dalam konteks ini juga individu tidak berarti harus mengalami paksaan fakta
sosial dengan cara negatif. Dilain sisi terdapat permasalahan petani di desa
Kademangan, Blitar, Jawa Timur, ketika sistem ekonomi uang masuk dalam
kehidupan kelompok masyarakat petani, mau tidak mau dan sadar tidak sadar
individu tersebut telah dipengaruhi oleh fakta sosial serta harus mengikuti
sistem yang berlaku dalam fakta sosial tersebut, karena masuknya uang tersebut
dapat dikatakan fakta sosial dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan, baik
dalam kehidupan petani maupun dalam kehidupan kelompok sosial masyarakat
manapun, fakta sosial itu akan selalu ada dalam kehidupan kelompok masyarakat
dan individu yang ada dalam kelompok masyarakat tersebut secara terselubung
sudah dipengaruhi oleh fakta sosial yang berlaku dalam lingkungan sosialnya.
Fakta
sosial tersebut beroperasi tidak memihak satu individu atau individu yang lain
tetapi fakta sosial tersebut mempengaruhi semua individu dalam kelompok
masyarakat dimanapun. Jadi fakta sosial ini bersifat umum dan atau tersebar
meluas di seluruh kehidupan masyarakat sehingga dapat dikatakan fakta sosial
itu merupakan milik bersama bukan milik ataupun sifat individu perorangan.
Fakta sosial ini bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu merupakan
hasil dari sifat kolektifnya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar