Minggu, 04 Desember 2016

Diskriminasi Gender ( Perempuan )



Gender berasal dari kata “Genus” yang artinya jenis atau tipe. Gender adalah sifat atau perilaku yang terdapat dalam diri manusia baik itu perempuan maupun laki-laki yang menjadi ciri khas dari diri seseorang. Gender berhubungan dengan perbedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Selain itu, gender juga dapat dikatakan sebagai pembeda jenis kelamin.

Diskriminasi yaitu suatu tindakan, perilaku atau anggapan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang individu maupun kelompok terhadap individu atau kelompok lain. Diskriminasi merupakan suatu tindakan yang dapat merampas hak orang lain termasuk hak seorang perempuan maupun laki-laki.

Maka dapat diartikan bahwa diskriminasi gender merupakan suatu tindakan atau anggapan yang dilakukan terhadap diri seseorang yang berakibatkan terampasnya hak-hak seseorang dalam kehidupannya, hak tersebut diantaranya adalah  :
1.      Hak untuk hidup tenang dan tentram sesuai yang diharapkan.
2.      Hak untuk mendapatkan kelayakan hidup.
3.      Hak untuk mendapat pekerjaan.
4.      Hak untuk mendapat pendidikan.
5.      Hak untuk mendapatkan kesehatan, dll.
Dengan adanya diskriminasi tersebut maka dapat berpengaruh terhadap hak-hak yang dimiliki seseorang. Bahkan seseorang akan merasa tidak nyaman dalam kehidupan sehari-hari dengan adanya diskriminasi tersebut.

Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni :

1.      Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender.
Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan kini diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Contoh Marginalisasi :
Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru laki-laki yang mengerjakan, pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan diasumsikan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani, usaha konveksi lebih suka menyerap tenaga perempuan, peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan, banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan seperti “guru taman kanak-kanak” atau perempuan “sekretaris” dan “perawat”.

2.      Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari istri.

3.      Pandangan Stereotype
Stereotype ialah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan), hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaumperempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi jika perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.

4.      Beban ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Beberapa observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedaan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.

Kesetaraan gender menurut agama Islam

Sejak kurang lebih 15 abad yang lalu Islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Islam memberikan posisi yang tinggi kepada perempuan. Prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam Ilam tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya isu gender yang berdampak merugikan perempuan. Islam bahkan menetapkan perempuan pada posisi yang terhormat, mempunyai derajat, harkat, dan martabat yang sama dan setara dengan laki-laki. Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat Al-Qur’an substansive yang sekaligus menjadi tujuan namun syariaiah. Adalah suatu kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak terkecuali beberapa guru agama yang belum memahami makna qodrat, apabila berbicara soal jenis kelamin perempuan dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu akibat dari salah memahani alasan untuk mempertahankan domestikasi, subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan.

Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan kehadiran Nabi Muhammad SAW dengan sunnahnya, sebagai “Rahmatan lil alamin”, tentu saja menolak anggapan diatas. Islam datang untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Sejak awal dipromosikan, Islam adalah agama pembebasan. Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba dan sebagai representasi Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit. Islam mengamanatkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan baik sesama manusia maupun manusia dengan lingkungan alamnya.

Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya diskriminasi terhadap perempuan memang harus segera dihentikan karena bisa menghambat dan terus menindas Hak Asasi Manusia (HAM) terutama Hak Asasi yang dimiliki oleh perempuan. Semua manusia ingin hidup bebas mengekspresikan semua kreatifitas, talenta, atau bakat yang dimiliki dalam seorang individu, begitu pula dengan perempuan, mereka juga ingin menampakkan keeksistensian akan keberadaan dirinya bahwa mereka juga mempunyai suatu kelebihan dalam bidang apapun, tidak melulu bahwa perempuan hanya didoktrinisasi dengan urusan dapur dan ibu rumah tangga, selain itu perempuan tidak bisa atau tidak layak menjalankan suatu tugas apa-apa seperti yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Pandangan itulah yang harus kita singkirkan dari pola pikir (mindset) kita, bahwa kita semua harus menghargai semua perempuan dengan tidak memandang sebelah mata, karena semua manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan derajad yang sama, tidak peduli bahwa itu seorang perempuan maupun laki-laki.

Senin, 31 Oktober 2016

PENEGAKAN HUKUM DAN KEPATUHAN HUKUM MASYARAKAT



Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berhubungan dengan hukum. Penegakan hukum merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan di dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan suatu proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan.

Proses penegakan hukum dalam kenyataan memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantab dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum perlu adanya suatu penyuluhan hukum guna untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat sehingga masyarakat dapat menghayati hak dan kewajiban asasi dalam rangka tegaknya hukum, tegaknya keadilan, ketertiban hukum, kepastian hukum dan terbentuknya sikap dan perilaku yang taat pada hukum.

Teori Efektivitas

Teori efektivitas ini dapat diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapai target atau tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas memiliki beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas sebuah peraturan, efektivitas dalam studi ini diartikan bahwa perbuatan nyata orang-orang sesuai dengan norma-norma hukum. Keefektifan atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 faktor, diantaranya yaitu :

a.       Faktor Hukum ( Undang-Undang )
Dalam praktik penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
b.      Faktor Penegak Hukum ( Pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum )
Untuk berfungsi suatu hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, maka akan terjadi masalah. Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.
c.       Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak meliputi pendidikan yang diterima oleh polisi, untuk perangkat keras dalam hal ini adalah meliputi sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung, seperti halnya perlengkapan, kendaraan maupun alat-alat komunikasi yang proposional.
d.      Faktor masyarakat ( lingkungan dimana hukum berlaku atau diterapkan )
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang, adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
e.       Faktor kebudayaan ( sebagai hasil karya, cipta, rasa, karsa manusia di dalam pergaulan hidup )
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana segharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang peri kelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektivitasnya penegak hukum. Kesemua faktor tersebut akan sangat menentukan proses penegakan hukum dalam masyarakat dan tidak dapat dinafikan satu dengan yang lainnya, kegagalan pada salah satu komponen akan berimbas pada faktor yang lain.

Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum akan terwujud apabila ada indikator pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum yang patuh terhadap hukum. Ketiga indikator inilah yang dapat dijadikan tolak ukur dari kesadaran hukum, karena jika ketiga indikator itu rendah maka kesadaran hukunya juga ikut rendah. Kesadaran hukum yang rendah atau tinggi masyarakat akan sangat mempengaruhi pelaksanaan hukum. Kesdaran hukum yang rendah akan menjadi kendala maupun hambatan dalam penegakan maupun pelaksanaan hukum baik berupa tingginya tingkat pelanggaran hukum maupun kurang berpartisipasinya masyarakat dalam pelaksanaan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto, kesadaran hukum yang tinggi mengakibatkan warga masyarakat mematuhi hukum yang berlaku. Sebaliknya, apabila kesadaran hukum sangat rendah, maka derajat kepahaman terhadap hukum juga tinggi. Soerjono Soekanto juga mengemukakan empat unsur kesadaran hukum, yaitu : Pengaturan tentang hukum, Pengetahuan tentang isi hukum, Sikap hukum, Pola perilaku hukum.

Kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin juga tidak timbul. Untuk meningkatkan kesadaran hukum maka perlu diadakannya penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar rencana yang mantap. Penerangan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui mengenai hukum tertentu, seperti perundang-undangan tertentu mengenai pajak, kehutanan, dan juga tentang lalu lintas. Upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum juga tak lepas dari upaya preventif yaitu tindakan yang dilakukan untuk melancarkan pada saat sebelum terjadinya perbuatan melanggar hukum secara riil. Tindakan ini termasuk juga dalam kategori pencegahan, misal tindakan penjagaan, membayangi, memberi isyarat dan lain-lain, maupun represif yaitu tindakan aparat penegak hukum terhadap perbuatan seseorang yang dilakukan setelah terjadinya kejahatan ini dimulai atau setelah terjadinya pelanggaran hukum, misal operasi polisi di jalan umum. Dengan adanya penyuluhan maupun penerangan diharapkan agar hukum yang berlaku benar-benar mencerminkan keserasian jalinan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.

Kepatuhan Hukum

Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk kesetiaan masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat. Ditegaskan lagi bahwa kepatuhan masyarakat pada hakikatnya merupakan kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang senyatanya patuh pada hukum, antara das sein dengan das sollen secara fakta sama.

Kepatuhan sendiri masih dapat dibedakan kualitasnya dalam tiga jenis, yaitu :
1.      Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya ia takut terkena sanksi.
2.      Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak.
3.      Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.

Dengan mengetahui ketiga jenis ketaatan ini maka kita dapat mengidentifikasi seberapa efektifnya suatu peraturan perundang-undangan. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu undang-undang hanya dengan ketaatan yang bersifat compliance atau identification, berarti kualitas keefektifan aturan undang-undang itu masih rendah, sebaliknya semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu aturan perundang-undangan dengan ketaatan yang bersifat internalization, maka semakin tinggi kualitas keefektifan aturan atau undang-undang itu. Kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektifitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan dalam tegaknya segala peraturan dalam masyarakat. Namun, selain itu ada faktor penghambat terhadap masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan yaitu eksploitasi ekonomi, terutama dalam saat-saat kritis atau pada saat tekanan ekonomi. Maka pada tingkat inilah masyarakat akan melakukan pelanggaran guna untuk memenuhi ekonominya.

Contoh Observasi Kepatuhan Hukum Masyarakat Dalam Lingkup Kampus ( Larangan Mencontek )

Terkait dengan Kepatuhan Hukum Masyarakat dalam lingkup kampus, disini saya mendapatkan tugas untuk melakukan observasi, guna mendapatkan informasi tentang larangan mencontek bagi mahasiswa/i. Dibawah ini terdapat beberapa hasil observasi tentang mahasiswa/i yang belum pernah mencontek, dan mahasiswa/i yang pernah mencontek.

Dari hasil observasi pada mahasiswa di IAIN Tulungagung terkait dengan mahasiswa yang belum pernah mencontek sama sekali dan mahasiswa yang pernah mencontek, saya sebagai pencari informasi menemukan beberapa fakta dan alasan yang cukup mencengangkan terkait kedua hal tersebut.

Dimulai dari hasil observasi saya dengan salah satu mahasiswa yang belum pernah mencontek, kebetulan kepada seorang mahasiswi perempuan yang bernama Imroatul Khasanah ( PS 5D ) bahwasannya alasan untuk tidak mencontek adalah kebiasaan atau didikan oleh kedua orang tuanya sejak masih kecil untuk tidak mencontek sama sekali, pada keluarga Imroatul mencontek adalah sebagai salah satu hal yang membohongi diri sendiri atas kemampuan yang sudah dimiliki dan hal itu termasuk dosa kepada diri sendiri. Hal itulah yang membuat salah satu mahasiswi ini, yang sampai sekarang belum pernah mencontek.

Untuk observasi dengan seorang mahasiswa yang lainnya, ternyata masih ada seorang Laki-Laki yang mayoritas pernah atau bahkan hobby untuk melakukan contek mencontek, tetapi tidak berlaku untuk seorang mahasiswa yang bernama M. Rasyid Ridho (TBI 1B) yang saat ini masih duduk pada semester satu. Menurut dia alasan tidak mencontek adalah dia sangat percaya diri pada kemampuan dia sendiri, meskipun hasilnya kurang memuaskan tapi dia sangat puas dengan hasil karyanya sendiri tanpa membohongi diri sendiri dengan cara mencontek.

Selanjutnya untuk observasi pada mahasiswa yang pernah mencontek, pada hasil observasi tentang mahasiswa yang pernah mencontek mayoritas ada banyak yang melakukan hal ini, intinya lebih sulit mencari mahasiswa yang sama sekali belum pernah mencontek dibandingkan mahasiswa yang suka mencontek.

Salah satunya pada mahasiswa satu ini, Hasbi Saba Abdan S ( HK 5B ), menurut dia mencontek adalah salah satu cara ketika semua hasil pikiran sudah “ngeblank” atau kosong, hal ini dilakukan ketika sudah tidak ada lagi yang terngiang dalam pikiriannya terkait dengan pelajaran yang hari itu diujikan. Dia sangat sering melakukan hal ini atau bahkan dia menyebutnya sebagai hobby, karena dengan mencontek tidak usah belajarpun yang penting mempunyai nyali dan adrenalin yang kuat untuk melaksanakan aksi contek mencontek, hasil akhir pasti tidak akan berbohong.

Selanjutnya ada salah satu mahasiswa lagi yang sangat suka mencontek, dia bernama M. Esa Darmawan ( PGMI 3E ), dia mengaku bahwa mencontek adalah hal rutinan yang harus atau bahkan wajib dilakukan ketika UTS dan UAS telah tiba. Karena dia merasa tidak percaya diri akan kemampuannya sendiri, hal itu diakui dengan penuh rasa jujur. Menurut dia mencontek adalah hobby, dengan mencontek dia merasa puas walaupun nilai yang didapatkan bukan dengan hasil jerih payah belajar melainkan hanya dengan cara yang instant yaitu mencontek.

Pernyataan di atas tersebut, telah membuktikan bahwa Kepatuhan Hukum dalam lingkup kampus khususnya pada mahasiswa/mahasiswi terjadi perbedaan yang sangat signifikan. Dimana, hal yang dianggap baik pastinya akan terus diikuti oleh pelaku (mahasiswa/i) yang memang sudah memiliki tingkat kesadaran akan hal baik itu sendiri, dan sebaliknya hal yang buruk atau tidak patut dilakukan, tetap terus dijalankan meskipun pelaku (mahasiswa/i) mengetahui secara hati nurani bahwa itu hal yang buruk, tetapi untuk menempuh dan bisa memperoleh hasil yang memuaskan para mahasiswa tersebut rela menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasil yang baik yang bersifat instant. Oleh karena itu, kepatuhan dalam lingkup hukum harus ditanamkan sejak dini dan harus berdasarkan pada kesadaran masing-masing pihak, guna membangun generasi muda bangsa Indonesia ini semakin maju dalam hal akhlak, kemampuan berpikir, dan kesadaran akan hal baik yang terus dilakukan dan hal buruk yang pastinya untuk dihindarkan.